Hadits
merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur'an. Oleh karenanya, hadits
memiliki peranan penting dalam berbagai disiplin dan dimensi kehidupan.
Rasulullah selain meninggalkan wahyu (al-Qur'an) juga As-Sunnah (Hadits)
sebagai pegangan dan penuntun umat Islam dimanapun dan kapanpun. Walapun
posisinya nomor dua, tetapi kedudukan hadits sangat penting dalam menjelaskan
dan menjabarkan pesan-pesan atau perintah dan larangan yang ditegaskan oleh
al-Qur'an.
Dari
sekian kitab sunnah yang ada sekarang ini merupakan hasil kerja keras dari
proses seleksi yang cukup panjang. Sejarah pengumpulan dan penulisan selalu
diwarnai perdebatan panjang dalam rangka menentukan keotentikan hadits. Sikap
kehati-hatian dan kecermatan telah ditunjukkan oleh para penghimpun hadits
dengan cara yang selektif dan penuh pertimbangan.
Sebagian
orang berpendapat bahwa pada masa Rasulullah, periwayatan hadits umumnya hanya
dilakukan melalui hafalan dari satu sahabat ke sahabat lain, bukan melalui
tulisan. Pertimbangannya hanya sederhana, yakni dikhawatirkan akan tercampur
dengan ayat-ayat al-Qur'an. Meskipun al-Qur'an sendiri pada awalnya juga sama,
bukan untuk dibukukan (ditulis). Tetapi secara tegas, Rasulullah memberikan
lampu hijau kepada para sahabat supaya mencatatnya dengan alat tulis. Sehingga
pengumpulan dan penulisan ayat-ayat al-Qur'an lebih mudah di bandingkan dengan
kondisi hadits.
Sementara
pendapat lain mengatakan bahwa pada diri hadits belum ada ketegasan tentang
perintah yang jelas mengenai penulisannya. Bahkan ada sebuah riwayat yang
mengatakan sebaliknya, bahwa para sahabat dilarang menulis. Atas dasar inilah
kemudian tidak semua hadits dapat diterima dengan serta-merta. Sehingga satu
hal yang membuktikan ketidakotentikan hadits yang dianggap berasal dari Nabi
tentang pelarangan penulisan hadits adalah pernyataan Umar, berkenaan dengan
maksud penghimpunan hadits. Umar diriwayatkan berkata:
"saya bermaksud menuliskan hadits
Nabi. Tetapi niat itu segera kusadari bahwa umat terdahulu menulis kitab-kitab
tertentu dan mereka mengabaikan kitab suci. Demi Allah, saya tidak akan
membiarkan sesuatu pun yang dapat mengubah Kitab Allah. "
Riwayat
di atas mengungkapkan bahwa khalifah kedualah yang untuk pertama kali, berniat
menulis hadits. Dalam sebagian versi dari riwayat penulisan ini disebutkan
bahwa Umar berembuk dengan para sahabat yang lain tentang perkara ini dan
mereka pun menyetujuinya; tetapi pendiriannya lalu berubah karena alasan yang
telah ia nyatakan, dan bukan berdasarkan larangan Nabi.
Hal
lain yang dapat dikutip sebagai bukti ketidakotentikan hadits mengenai larangan
penulisan hadits ialah sabda Nabi pada hari Selasa menjelang akhir hayatnya.
Pada hari itu, ketika para sahabat berkumpul mengelilingi tempat wafatnya, Nabi
bersabda kepada mereka :
"Bawakan kepadaku kertas dan tinta,
sehingga dapat aku tuliskan sesuatu untuk kalian, yang tidak akan menyebabkan
kalian terjerumus ke dalam kekeliruan."
Ada
sebagian orang di bawah pimpinan Umar yang menentangnya dengan mengatakan, "Cukup bagi kita Kitab Allah."
Riwayat ini menunjukkan kepada kita bahwa penulisan apa pun selain al-Qur'an
bukan saja tidak dilarang, tetapi penulisan itu bahkan penting menurut
pertimbangan Nabi agar ummat tidak terjebak dalam kekeliruan dan kesesatan.
Sekitar
Penulisan Hadits
Mengkaji
tentang seputar penulisan hadits, setidaknya akan kita jumpai dua perspektif
yang berbeda. Perspektif yang pertama melarang penulisan hadits dengan memakai
dasar kepada hadits yang diyakini dari Rasul. Sementara perspektif kedua,
mengatakan bahwa penulisan hadits pada masa Nabi diperbolehkan, dengan
bersumber pula pada hadits Nabi.
Al-Nawawi
dalam bukunya yang berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj,
menjelaskan bahwa ada beberapa riwayat tentang pelarangan menulis hadits pada
masa Rasulullah saw. Salah satu hadits yang diyakini dari Rasulullah diriwayatkan
oleh Abu Sa'id al-Khudri :
“Jangan kamu sekalian menulis sesuatu
dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain al-Qur'an,
hendaklah ia menghapusnya.”
Sejalan
dengan hadits di atas, Masjfuk Zuhdi menambahkan bahwa larangan penulisan ini
ada hikmahnya. Pertama, berhubungan pada waktu itu sahabat-sahabat Nabi masih
banyak yang Ummi (tidak bisa baca tulis), sedang waktu itu wahyu Ilahi masih
turun Qur'an, jadi Nabi mengkhawatirkan kalau-kalau mereka tidak dapat
membedakan qur'an dan hadits, sehingga terjadi percampuran antara keduanya.
Kedua,
Nabi percaya atas kekuatan hafalan para sahabatnya dan kemampuannya mereka untuk
memelihara semua ajarannya tanpa catatan/ulisan danini berarti secara tidak
langsung mendidik mereka untuk percaya pada kemampuan sendiri.
Masih
menanggapi hadits Abu Sa'id al-Khudri, menurut Ja'farian hadits tersebut tidak
dapat diterima keshahihannya dengan alasan berikut; Pertama, kalau kita
menerima hadits itu, berarti kita tidak dapat membatasi penerapannya pada masa
tertentu saja. Jika penulisan hadits tidak diperbolehkan dan haram, maka
haramnya itu harus untuk setiap saat. Tetapi para perawi hadits tidak berpegang
kepadanya dan pada akhirnya mereka menulis serta menghimpun berbagai hadits.
Kedua,
perawi ini telah meriwatkan juga hadits yang lain yang menunjukkan boleh
menulishadits,dan kalu kita menganggap kedua rangkaian hadits ini sama kuat,
kita harus menolak kedua-duanya karena bertentangan. Dalam hal ini keduanya
kehilangan kredibilitasnya, walaupun misalnya, kita tidak dapat membuktikan
kelemahan hadits dengan cara lain.
Ketiga,
Abu Sa'id al-Khudri yang meriwayatkan juga hadits ini, telah menyampaikan
pernyataan lain yang bertentangan dengan ini. Ia berkata; "pada masa iti,
kita tidak menuliskan apa pun kecuali al-Qur'an dan Tasahhud". Dari
pernyataan ini ada dua hal yang dapat disimpulkan; pertama, Abu Sa'id al-Khudri
tidak berkata bahwa mereka menuliskan hadits atas perintah Nabi, kerana
seandainya demikian, ia harus menunjukkannya, kecuali kalau penjelasan tersebut
bukanlah yang ia maksudkan. Kedua, ditambahkannya kata tasahhud dalam
pernyataanitu tidak sesuai dengan maksud pelarangan penulisan apa pun kecuali
al-Qur'an. Perlu diperhatikan bahwa dalam hadits lain yang semua dari Ibn
Mas'ud, istikharah disebut bersama tasahhud. Dan masih banyak alasan lain yang
berkenaan dengan riwayat Abu Sa'id al-Khudri tersebut.
Sebaliknya,
di samping ada riwayat yang melarang penulisan hadits, ada juga yang
membolehkannya. Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam bukunta Fath al- Bari Syarh
al-Bukhari dikatakanbahwa riwayat yang membolehkan itu berasal dari Abu
Hurairah. Periwayatan ini, berkaiatn dengan terjadinya "fath al-Makkah".
Pada waktu itu, Rasulullah berdiri untuk menyampaikan khutbahkepada penduduk
Makkah, ketika dalam penyampaian ada seorang dari Yaman berdiri bernama Abu
Syah, tiba-tiba berkata; ya Rasulullah!, tuliskan (khutbah tersebut) untukku,
maka Rasulullah berkata kepada para sahabat; tuliskan khutbah ini untuknya!
Penjelasan
lain yang diungkapkan oleh Hasbi al-Shidiqi, merujuk kepada kitab
"al-Madkhal" yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dari Abu
Hurairah :
“Tidak seorang dari sahabat nabi yang
demikian banyak (lebih mengetahui) hadits rasul daripadaku, selain Abdullah ibn
Amr ibn Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak
menulisnya.”
Masih
dalam penjelasan al-Shidiqi, bahwa ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali
mempunyai sebuah shahifah, ditulis di dalamnya hukum-hukum diyat yang diberatkan
kepada keluarga, dan lain-lain. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa menurut
sebuah riwayat, Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku catatan.
Penjelasan
yang hampir senada juga dikemukakan Zuhdi, bahwa sebuah riwayat dari Nabi :
“Tulislah dariku, demi dzat (Tuhan)
yang jiwaku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang
benar (haq).”
Hadits
tersebut, merupakan sebuah jawaban terhadap pertanyaan Abdullah ibn ‘Amr ibn
‘Ash tentang penulisan sunah-sunah. Sementara al-Shidiqi, menjelaskan riwayat
tersebut bahwa selain Nabi sendiri pernah mengirim surat kepada sebagain
pegawainya menerangkan kadar-kadar zakat Unta dan Kambing. Dan pernah dengan
tegas Nabi memerintahkan sahabat menulis hadits.
Secara
dhahir, dua versi riwayat di atas betul-betul bertentangan, karena itu para
ulama mengambil suatu pendekatan untuk mengkompromikan atau mendamaikan
(al-jam'u) antara keduanya. Salah satu cara untuk mengambil jalan tengah dari
versi yang berbeda tersebut adalah dengan cara tarjih, yakni mengambil salah
satu riwayat yang terkuat dari kedua riwayat tersebut.
Pendekatan
pertama, seperti yang tertera dalam Kitab Ibn Hajar bahwa langkah yang harus
ditempuh adalah dengan cara mengkritisi sanad/rawinya. Sedangkan riwayat yang
berkenaan dengan larangan penulisan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id
al-Khudri merupakan salahsatu hadits yang sanadnya mauquf, yakni terhenti
sampai Abu Sa'id al-Khudri.
Pendekatan
kedua, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Ushul al-Hadits bahwa perlu
dilakukan sebuah langka pendamaian hadits yang bertentangan. Hadits riwayat Abu
Sa'id al-Khudri, sebetulnya ditujukan kepada mereka yang menulis hadits dan
al-Qur'an dalam satu shahifah, sebab selain mereka mendengar ayat yang
diturunkan, juga mendengarkan penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, sehingga
kalau ditulis dalam satu shahifah akan tercampur.
Pendekatan
ketiga, dalam Ushul al-Hadits dikatakan bahwa larangan penulisan hadits ditujukan
kepada mereka yang mempunyai hafalan yang luar biasa, sehingga kalau dibolehkan
menulis hadits, dikhawatirkan selalu bergantung pada tulisan, sehingga
keringanan (rukshah)menulis hadits, hanya ditujukan kepada mereka yang lemah
hafalannya.
Dari
ketiga pendekatan yang dilakukan oleh para ulama tersebut, al-Khatib mengambil
sebuah konklusi bahwa pendekatan pertama tidak dapat diterima. Penolakan
al-Khatib terhadap hadits itu beralasan bahwa sanad haditsnya masih belum
jelas, bahkan sebagian imam hadits mengatakan mauquf. Sehingga al-Khatib
berpendirian bahwa larangan tersebut berlaku kepada mereka yang menulis
al-Qur'an dan hadits dalam satu shahifah seperti pada pendekatan kedua.
Larangan Rasulullah itu beralasan bahwa hanya dikhawatirkan para shahabat akan
sibuk dengan hadits, sementara penulisan al-Qur'an ditinggalkan. Begitu pula
dengan keringanan (rukhshah), itu bersifat umum (‘am) dan larangan bersifat
khusus (khas).
Dengan
demikian, menurut Muhammad ‘Ijaj al-Khatib dan Abd Rahim ibn al-Husein al-Iraqi
yang didasarkan pada pendekatan-pendekatan di atas, maka sebenarnya tidak
terjadi pertentangan makna yang berarti, karena keduanya bisa dipadukan dengan
alternatif-alternatif di atas, yang intinya bahwa Rasulullah menginzinkan
penulisan hadits.
Hadits Masa Rasulullah
Al-Zahrani
dalam bukunya "Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah" menyatakan bahwa
penulisan hadits sebenarnya telah di mulai sejak masa Rasulullah. Dengan adanya
hadits-hadits yang mengandung perintah untuk menulis, yang berarti penulisan
hadits sesungguhnya tersebut dimulai sejak masa Rasulullah, sekalipun yang
diperioritaskan adalah wahyu yang turun.
Sementara
itu, hadits-hadits yang menyatakan rukshah, seperti pendapat di atas, juga
didukung beberapa ungkapan para sahabat itu sendiri. Salah satunya adalah Abu
Hurairah, yang menyatakan bahwa hafalannya tidak ada yang melindungi kecuali
‘Abdullah ibn ‘Amr, karena ia tidak menulis sedangkan Ibnu ‘Amr menulis hadits.
Bukti
lain yang serupa adalah bentuk shahifah. Misalnya ada shahifah Abu Bakr,
Shahifah ‘Ali ibn Abi Tahlib, dan shahifah ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash, semua
itu merupakan bukti yang ada pada diri yang telah banyak membukukan hadits pada
masa Rasulullah.
Hadits Masa Shahabat dan Tabi'in
Akram
Dhiya' al-‘Umari sebagai penulis buku Buhuts fi Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah,
menyadari bahwa terjadinya sebuah kontradiksi yang sangat keras di kalangan
sahabat itu diakibatkan pandangan yang masih bersifat generik. Sebagian yang
tidak setuju menulis hadits menolaknya mentah-mentah dan bahkan sampai ada yang
membakarnya. Ada sebagian yang lain memahami larangan itu sudah di nasakh, ada
pula yang menggunakan dua pendapat dalam waktu berbeda; kadang melarangnya dan
kadang membolehkannya.
Kalau
begitu, sesungguhnya telah ada sebuah perhatian yang sangat besar ditunjukkan
para sahabat kepada hadits tersebut. Dan ini merupakan dasar bagi penulisan
hadits serta lebih-lebih untuk menjaga kemurnian dan penyebarannya kepada umat
Islam. Ada beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan para sahabat dalam
menjaga kelestarian al-Sunnah al-Nabawiyah, sebagai berikut;
a. Menganjurkan untuk menghafal dengan disertai
mengkritisi teks-teks hadits secara cermat dan tegas. Begitu pula mereka
menyuruh para santrinya manulis teks-teks supaya mudah dalam menghafalnya.
Setelah dirasa hafalnnya sudah mantap, tulisan tersebut dihapus agar tidak
tergantung kepada tulisan dan mengurangi minat menghafal.
b. Saling mengirim tulisan hadits di antara
mereka. Sebagaimana yang di riwayatkan Imam Muslim, yang menyatakan bahwa Jabir
ibn Samurah menuliskan sebagian hadits Rasulullah, kemudian di kirimkan kepada
‘Amr ibn Said Abi Waqash karena permintaannya.
c. Membukukan hadits dalam bentuk shuhuf dan
melalui bentuk shuhuf inilah akhirnya kegiatan penulisan dan pengumpulan hadits
pada masa-masa berikutnya.
Adapun
hadits pada masa tabi'in, tidak jauh berbeda dengan hadits di masa sahabat. Di
sana juga masih ada perbedaan mengenai hukum menulis hadits Rasulullah.
Meskipun demikian, pada masa ini lahir beberapa ulama dengan perhatian yang
sangat besar terhadap penulisan hadits. Tidak hanya itu, mereka menjaganya
dengan bentuk shahifah. Ulama yang terlibat dalam penulisan ini, seperti Abi
al-Zubair Muhammad ibn Muslim ibn Tadrus al-Asadi, yang menulis beberapa hadits
yang diriwayatkan oleh Jabir ibn ‘Abdillah dan dari yang lainnya.
Pada
masa tabi'in, kegiatan tulis-menulis semakin berkembang pesat. Mereka
ramai-ramai menyerbu halaqah al-‘Ilm, bahkan di antara mereka ada yang sangat
memperhatikan terhadap penulisan ilmu yang mereka terima. Dengan semangat yang
tinggi, mereka menyadari bahwa menulis ilmu merupakan kebutuhan, dan kondisi
demikian telah membentuk sikap mereka untuk menulis dalam setiap halaqah
al-‘Ilm.
Menyadari
akan pentingnya penulisan ‘ilm (hadits) mereka berusaha untuk menjaganya.
Sehingga berkembangnya penulisan ini juga atas pertimbangan banyak hal,
misalnya 1) meluasnya periwayatan, disertai dengan sanad yang panjang, yang
mencantumkan nama-nama perawi, julukan dan nasabnya, 2) para sahabat dan
tabi'in tua yang terkenal kuat hafalannya, banyak yang telah meninggal dunia,
tentu akan semakin besar kemungkinan hadits yang hilang, kalau tidak segera
dibukukan, 3) kekuatan hafalan yang dimiliki oleh para ummat Islam pada waktu
itu semakin lemah, karena makin banyak ilmu pengetahuan yang membutuhkan
pemikiran juga, dan 4) munculnya gerakan-gerakan bid'ah, dan banyaknya
orang-orang yang membuat hadits palsu.
Masa Umar ibn ‘Abd Aziz
Setelah
melalui beberapa periode, Umar ibn ‘Abd Aziz termasuk orang yang mempunyai
hasrat besar terhadap pembukuan hadits. Menurut sejarahnya, semula yang ingin
membukukan adalah ayahnya (‘Abd Aziz ibn Marwan), ketika menjabat sebagai
gubernur di Mesir. Pada waktu itu, ia menulis permohonan kepada Kathir ibn
Murrah al-Khadlrami, seorang tabi'in yang pernah bertemu dengan 70 ahli badr,
untuk menulis apa-apa yang pernah didengar dari hadits-hadits Rasulullah. Namun
hasil akhirnya belum dapat diketahui secara jelas.
Akhirnya,
Umar ibn ‘Abd Aziz meneruskan usaha tersebut, dan segera menulis surat kepada
Abu Bakr ibn Hazm, yang intinya meminta kepadanya untuk menulis hadits-hadits
Rasulullah dari Umrah binti ‘Abd al-Rahman al-Anshariyah dan Qasim ibn Muhammad
ibn Abi Bakr. Selain itu, Umar juga meminta kepada ulama yang ada diseluruh
wilayah Islam. Sebelum selesai penulisan, Abu Bakr ibn Hazm meninggal dunia.
Setelah itu, usaha yang maksimal baru dikerjakan oleh Imam Muhammad ibn Syihab
al-Zuhri. Ia di tugasi Umar untuk mengumpulkan seluruh hadits-hadits
Rasulullah, yang kemudian dijadikan sebuah buku. Al-Zuhri termasuk orang pertama
kali yang dapat membukukan hadits secara resmi dan menyeluruh.
Hadits Masa Abad Kedua dan Ketiga
Hijrah
Pada
abad kedua hijrah terdapat dua generasi, yaitu generasi shighar al-tabi'in dan
generasi atba'u al-tabi'in. Generasi pertama, mereka yang hidup sampai setelah
tahun 140 hijrah. Sedangkan generasi kedua, mereka yang hidup setelah periode
sahabat dan tabi'in, dalam tingkatan periwayatan hadits dan penyebaran agama
Islam kepada umat, generasi ini mempunyai peranan sangat besar dalam menghadapi
ahl al-bida' wa al-ahwa', dan berusaha sekuat tenaga dalam menghalau segala
bentuk kebohongan hadits (al-wadl'u fi al-hadits) yang dipelopori oleh kelompok
al-Zanadiyah. Umumnya, mereka sangat berhati-hati ketika melakukan seleksi
hadits untuk dibukukan dan sekaligus disusunnya dalam bentuk susunan bab.
Selain itu, keberhasilan mereka adalah menyusu ilm al-rijal, yang ditandai
dengan adanya buku-buku yang ditulis oleh al-Laits ibn Sa'ad, Ibn al-Mubarak,
Dlamrah ibn Rabi'ah dan lain-lain.
Selain
itu, abad kedua juga terkenal dengan banyaknya ulama yang muncul. Mereka sangat
faham tetang kronologis periwayatan hadits, mereka itu adalah Imam Malik, imam
Syafi'I, imam al-Tsauri, Imam al-Auza'I dan lain-lain. Semua itu adalah figur
pertama yang menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.
Adapun
pada abad ketiga hijrah, kondisinya jauh berbeda dengan abad sebelumnya. Abad
ini sampai dikenal dengan the golden age bagi perkembangan ilmu pengetahuan
Islam, terutama yang berkaitan dengan Hadits. Perkembangan semacam itu akibat
tumbuhnya semangat untuk mengadakan rihlah ilmiah dalam rangka mencari hadits,
dan sebgai kelanjutannya menulis sebuah ilm al-rijal yang banyak beredar
buku-buku kumpulan hadits seperti, al-Kutub al-Sittah, dan al-Masanid, yang
sampai sekarang menjadi rujukan dalam bidang hadits. Semua buku tersebut
merupakan sumbangan besar dalam perkembangan ilmu hadits dari ulama yang
mempunyai wawasan keilmuan yang luas, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, Ali ibn
al-Madini, al-Bukhari, Imam Muslim, Ishaq ibn Rahwaih dan lain-lain.
Satu
hal lagi, bahwa dari perkembangan yang sangat pesat itu, telah menjadi tonggak
sejarah penulisan dan penyusunan hadits. Dan pada abad ini pula merupakan batas
yang membedakan antara muta'akhirin dan mutaqaddimin, karena ulama-ulama
setelah itu tidak menghasilkan karya seperti abad sebelumnya. Mereka mungkin
hanya berusaha untuk memperbaiki susunannya, mengadakan tahdzib dan seterusnya.
Catatan Akhir
Dari
beberapa riwayat dan argumentasi yang dikemukakan para ulama di atas dapat
dipahami bahwa sesungguhnya kegiatan tulis menulis ---termasuk hadits-- sudah
dimulai sejak masa Rasulullah. Problema yang terjadi pada penulisan hadits
hanya di dasarkan pada kekhawatiran belaka. Padahal jika kita cermati secara
mendalam, alasan kekhawatiran tersebut sangat lemah. Sebagaimana penolakan yang
ditunjukkan oleh Abu Ruyyah dalam kitabnya "Adwa' ala Sunnah
Muhammadiyah" yang dikutip Rasul Ja'farian dalam al-Hikmah dikatakan
sebagai berikut:
"Alasan demikian mungkin tampak
meyakinkan bagi orang awam, tetapi tidak dapat diterima oleh para peneliti.
Sebab, itu berarti manyamakan keindahan bahasa al-Qur'an setingkat dengan
hadits".
Kekhawatiran
tercampurnya hadits dengan al-Qur'an mustakhil akan terjadi, karena salah satu
letak kemukjizatan al-Qur'an adalah keindahan bahasa. Dan jika kekhawatiran
tersebut diyakini, maka berarti mengingkari keistimewaan (mukzizat) al-Qur'an.
Bahasa Al-Qur'an merupakan mukjizat yang sulit ditandingi oleh bahasa siapa
pun, termasuk oleh rasul sendiri. Abu Ruyyah menganggap bahwa bukan karena
ketakutan tercampur antarahadits dan ayat al-Qur'an, akan tetapi ada yang lebih
daripada itu yang belum terketahui.
Lebih
lanjut, Ruyyah menyatakan bahwa meyakini adanya kemungkinan bercampuraduknya
al-Qur'an dengan hadits berarti meyakini adanya kemungkinan pengurangan ayat
dalam al-Qur'an. Keyakinan ini tidak dibenarkan karena keaslian al-Qur'an sudah
dijamin oleh Allah.
Sungguh,
telah Kami turunkan al-Qur'an (pemberi peringatan). Dan Kamijualah
memeliharanya (Q.S. 15:9).
Lebih
lanjut, Ja'farian menggugat bahwa alasan lain yang diberikan dalam soal
penulisan hadits, kemudian orang akan mengabaikan al-Qur'an karena memberikan
seluruh perhatiannya kepada hadits. Argumen ini tidak dapat diterima, sebab hal
yang sama dapat terjadi terhadap al-Qur'an dan hadits yang disampaikan secara
lisan. Memang benar bahwa perhatian ekslusif terhadap hadits merupakan
penyimpangan yang bagi mereka memiliki kecenderungan ke sana, sehingga harus
diperingatkan dan diminta untuk memberikan perhatian yang sama terhadap
al-Qur'an. Tetapi larangan terhadap penulisan hadits, yang menimbulkan
kerusakan yang sulit diperbaiki pada kebudayaan Islam, bukanlah cara yang tepat
untuk mendapatkan hasil semacam itu.
Sumber
: Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang