Thursday, May 23, 2013

ISTILAH-ISTILAH DALAM HADITS

1.
MARFU

Hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh seorang rawi kepada seorang rawi lainnya hingga sampai kepada ulama mudawin, seperti Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lainnya dinamakan Hadits Marfu, yaitu hadits yang riwayatnya diangkat sampai kepada Nabi saw.
Jika ada perkataan ahli hadits bahwa hadits itu dirafa’kan oleh seorang shahabi, misalnya saja oleh Ibnu Umar. Artinya bahwa Ibnu Umar katakan hadits itu dari Nabi saw. dan bukan dari fatwanya sendiri.
Jika ada perkataan di kitab-kitab hadits Bukhari, Muslim, Abu Dawud atau lainnya dan pencatat hadits tersebit rafa’kan sesuatu hadits, maka artinya mereka tunjukkan buat hadits itu sanad yang sampai kepada Rasulullah saw. dan bukan hingga sampai shahabi saja.

2.
MAUSHUL

Hadits yang sanadnya sampai kepada Nabi saw. dengan tidak putus dinamakan hadits maushul atau mut-tashilus sanad.
Perkataan mausul dipakai juga untuk sanad atau riwayat atau a-tsar sahabat Nabi saw. atau tabi’in yang tidak putus. Apabila ulama berkata bahwa Tirmidzi washalkan hadits itu, artinya Tirmidzi bawakan bagi hadits itu atau bagi a-tsar itu sanad yang tidak putus.

3.
MAUQUF

Fatwa sahabat Nabi saw., atau anggapan sahabat Nabi saw. sendiri yang diriwayatkan kepada kita dinamakan Mauquf, yaitu terhenti sampai di sahabat Nabi saw. saja.
Suatu rangkaian perkataan yan dikatakan hadits, apabila kita periksa sanadnya dan terdapat hanya sampai sahabat, tidak sampai kepada Nabi saw., maka dinamakan juga Hadits Mauquf.
Jika ada ulama hadits berkata bahwa hadits itu diwaqafkan oleh Tirmidzi, artinya adalah bahwa Tirmidzi tunjukkan atau bawakan sanad yang hanya sampai kepada sahabat Nabi saja.
4.
MURSAL

Apabila seorang tabi’I yang tentunya tidak bertemu Nabi saw. berkata : “Telah bersabda Nabi saw…..”, maka yang dia riwayatkan itu dinamakan Hadits Mursal, yaitu yang dilangsungkan kepada Nabi saw. dengan tidak menggunakan perantara sahabat Nabi saw.
5.
MUDALLAS

Hadits yang diriwayatkan dengan tidak tegas sampainya dari seorang ke seorang dinamakan Mudallas, dan seorang yang mentadlis (orang yang menyebut sanad dengan samar-samar) itu dinamakan Mudallas.
6.
MAQTHU’

Hadtis yang sanadnya hanya sampai kepada tabi’i atau dibawahnya dinamakan Maqthu.
7.
MUNQATHI’ dan MU’DLAL

Jika di dalam sanad gugur nama seorang rawi atau gugur dua orang rawi yang tidak berdekatan, yaitu gugurnya berselang, maka sanad itu dinamakan Munqathi’; dan jika yang gugur itu dua rawi yang berdekatan (ditengah sanad) atau tidak berselang, maka sanad itu dinamakan Mud’dlal.
8.
MUDL-THARIB

Suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan satu rangkaian, tetapi rawi itu riwayatkan pula hadits tersebut dengan rangkaian yang lain namun maknanya tidak sama, atau rawi itu riwayatkan suatu hadits dengan satu sanad, tetapi dia juga riwayatkan hadits tersebut dengan sanad yang berbeda, maka yang demikian itu dinamakan Mudl-tharib.
9.
MAQ-LUB

Seandainya suatu hadits yang seharusnya berbunyi : “Meletakkan lutut lalu tangan”, tetapi diriwayatkan orang terbalik dari itu, misalnya saja : “Meletakkan tangan lalu lutut”, maka hadits yang terbalik itu dinamakan Maqlub. Oleh karena terbaliknya itu ada pada matan hadits, maka dikatakan maqlub fil-matan.
Apabila nama seorang rawi dari suatu sanad yang terbalik, misalnya saja seharusnya Muhammad bin ‘Ali, tetapi tertulis sebalikan, yaitu ‘Ali bin Muhammad, maka yang demikian juga dikatakan Maqlub. Oleh karena maqlubnya itu berada dalam sanad, maka disebut Maqlub fis-sanad.
10.
MUDRAJ

Jika diantara lafazh-lafazh hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw. ada tambahan yang menerangkan arti bagi suatu kalimat atau lainnya yang bukan berasal dari Nabi saw., maka tambahan keterangan itu dinamakan Mudraj, yaitu sesuatu yang disisipkan. Pekerjaan menyisipkan tersebut dinamakan Idraj.
Idraj tersebut dinamakan idraj fil matani (penyisipan di badan hadits). Hadits yang yang ada pada idraj, dinamakan juga hadits mudraj.
Di dalam suatu sanad, jika ditambahkan nama seorang rawi, padahal dia tidak meriwayatkan, maka yang demikian dinamakan idraj fis-sanad.
11.
MA’LUL, MU’ALLAL dan MU’TAL

Merupakan hadits yang terdapat cacatnya. Cacatnya itu tersembunyi dan baru diketahui sesudah diperiksa dengan teliti. Cacatnya tersebut sangat sulit diketahui orang selain ahli hadits. Cacat-cacat yang sulit itu dinamakan ‘Illat, artinya penyakit.
12.
MU’ALLAQ

Hadits Mu’allaq adalah hadits yang diriwayatkan tanpa menggunakan sanad, misalkan saja dikatakan : “Sabda Rasulullah saw. ….”, atau misalkan dikatakan  : “Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar dari Rasulullah saw. ….”, atau dikatakan : Bukhari riwayatkan hadits Rasulullah saw. ….” (dengan tidak menyebut nama rawi dari yang dipermulaan sanad).
Mu’allaq  ini terkadang tidak disebut sanadnya oleh seseorang ahli hadits lantaran hendak ringkas, padahal sanadnya ada, dan terkadang diriwayatkan begitu saja tanpa menggunakan sanad.
13.
MAUDLU’ dan MATRUK

Hadits yang di dalam sanadnya ada rawinya seorang pendusta, maka hadits itu dinamakan Maudlu’ atau palsu.
Hadits yang di dalam sanadnya ada rawinya seorang tertuduh sebagai pendusta, maka hadits itu dinamakan Matruk
14.
SYAHID dan MUTABI’

Jika ada suatu hadits yang misalkan saja diriwayatkan oleh Bukhari dan misalkan saja dari Nabi saw. dari jalan Ibnu ‘Abbas, sementara itu ada juga diriwayatkan suatu hadits yang lain yang sama maknanya dari Nabi saw. dari jalan lain sahabat, maka yang lain ini dinamakan Syahid; dan jika dari jalan sahabat yang sama, yaitu Ibnu ‘Abbas juga,  maka hadits yang ini dinamakan Mutabi’
Dalam hal ini syahid artinya penyakit; sedangkan mutabi’ itu artinya yang mengikuti atau mengiringi.
15.
MAHFUZH dan SYAADZ

Jika ada diriwayatkan dua hadits shahih dari Nabi saw. yang berlawanan, sedangkan yang satu lebih kuat sanadnya dari yang lainnya, maka yang kuat sanadnya itu dinamakan Mahfuzh. Sedangkan yang kurang kuat itu dinamakan Syadz.
16.
MA’RUF dan MUNKAR

Jika ada diriwayatkan dua hadits lemah yang berlawanan, sedang yang satu lemah sanadnya dan yang lain lebih lemah lagi sanadnya, maka yang lemah sanadnya itu dinamakan Ma’ruf dan yang lebih lemah lemah lagi dinamakan Munkar
17.
HADITS MUTAWATIR, MASYHUR, AZIZ dan GHARIB

Ada bermacam-macam hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw., yaitu :
Mutawatir :
Hadits yang diriwayatkan oleh banyak manusia kepada banyak manusia dan seterusnya hingga tercatat dengan beberapa banyak sanad pula.
Masyhur :
Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih kepada tiga orang atau lebih dan seterusnya hingga tercatat dengan sanad yang sekurang-kurangnya tiga.
‘Aziz :
Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang kepada dua orang dan seterusnya hingga tercatat dengan dua sanad.
Gharib :
Hadits yang diriwayatkan dari seorang kepada seorang dan seterusnya hingga tercatat dengan satu sanad.
Berdasarkan syarat-syarat sebuah hadits shahih, maka hadits mutawatir lebih dapat dipercaya dari pada hadits shahih.
18.
HADITS QUDSI

Hadits Qudsi adalah hadits yang didalamnya Rasulullah saw. hikayatkan firman Allah swt. Tentang shah atau tidaknya suatu hadits qudsi sama dengan hadtis Nabi saw., yaitu cukup padanya syarat-syarat hadits shahih untuk dapat dikatakan Hadits Qudsi yang Shahih, dan jika tidak, maka maka dikatakan Hadits Qudsi yang lemah.
19.
DLA’IF

Hadits Dla’if adalah perkataan yang dikatakan dari Rasulullah saw. tetapi tidak menuruti sifat-sifat dan syarat-syarat Hadtis Shahih dan tidak Hadits Hasan.
20.
SHAHIH dan HASAN
Hadits Shahih yang boleh dipakai jadi dalil adalah hadits yang diriwayatkan dari Nabi saw. oleh rawi-rawi yang sifat-sifatnya sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya.dengan tambahan syarat-syarat :

a.


b.

c.


d.
Ada keterangan bahwa diantara rawi-rawi penerima hadits tersebut pernah saling bertemu hingga sampai kepada Nabi saw.

Rawi-rawi tersebut semuanya sudah baligh dan beragama islam.

Hadits yang sudah shahih tersebut tidak berlawanan dengan hadits shahih lainnya, terutama jangan berlawanan dengan Al-Qur’an.

Hadits tersebut tidak terdapat cacatnya yang sulit atau ber’illat.

Hadits Hasan adalah hadits yang sama seperti shahih juga akan tetapi di antara rawi-rawinya ada orang yang ada kesalahannya di dalam urusan hadits, ada kelalaiannya, ada keragu-raguannya, ada yang menyalahi rawi-rawi lainnya atau ada yang kurang baik hafalannya.

PENGERTIAN HADITS


Hadits adalah ucapan atau perkatan dari Nabi Muhammad saw. Jika disebutkan hadits Nabi, maksudnya adalah sabda Nabi saw. Sering juga orang menyebutkan misalnya saja, hadits Bukhari. Maksudnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari. Lafazh hadits yang diucapkan oleh Nabi saw. dinamakan matan hadits atau isi hadits. Sedangkan A-tsar adalah perkataan atau ucapan sahabat Nabi saw.
Kejadian atau urutan sehingga terjadinya sebuah hadits dimulai dari adanya sabda Rasulullah yang didengar seorang atau lebih dari seorang sahabat yang kemudian disampaikan kepada tabi’in. (Tabi’in adalah pengikut Islam awal yang masa hidupnya setelah para sahabat Nabi dan tidak mengalami masa hidup Nabi Muhammad saw. Tabi'in disebut juga sebagai murid Sahabat Nabi). Dari tabi’in kemudian disampaikan pula kepada orang-orang yang berada di bawah mereka. Demikian seterusnya hingga dicatat hadits-hadits Nabi saw. tersebut oleh imam-imam ahli hadits, seperti Malik, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lainnya.
Sebagai contoh hadits riwayat Bukhari. Waktu meriwayatkan hadits Nabi saw, Bukhari berkata, hadits ini diucapkan kepada saya oleh seseorang yang namanya A; dan A berkata, diucapkan kepada saya oleh B; dan B berkata diucapkan kepada saya oleh C; dan C berkata, diucapkan kepada saya oleh D; dan D berkata, diucapkan kepada saya oleh E; dan E berkata, diucapkan kepada saya oleh F; dan F berkata, diucapkan saya oleh G; dan G berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi saw. 


Antara Nabi saw hingga Bukhari terdapat 7 orang (tidak harus 7 orang, bisa kurang dan bisa pula lebih). Tiap-tiap orang dari A sampai G dinamakan rawi, yaitu yang meriwayatkan sedangkan sejumlah rawi dari suatu hadits dinamakan sanad. Gambaran sanad adalah sebagai berikut :
sanad

G yang mendengar hadits tersebut langsung dari Nabi saw. ialah seorang shahabi sedangkan F yang tidak berjumpa Nabi saw. tetapi mendengar hadits dari shahabi itu dinamakan tabi’i.
Dalam contoh di atas, orang yang menyampaikan kepada Bukhari disebut awal sanad sedangkan shahabi dan tabi’i disebut akhir sanad. Bukhari disebut sebagai mudawwin atau mukharrij atau orang yang mencatat hadits Rasulullah saw.
Rawi seperti yang disebutkan di atas adalah orang yang meriwayatkan hadits. Untuk dapat dijadikan sandaran bagi hadits, maka perlu diketahui sifat-sifat dari rawi itu sendiri, yaitu harus memiliki sifat : 

1.  Tidak terkenal sebagai pendusta; 
2.  Tidak dituduh sebagai pendusta;
3.  Tidak banyak salahnya;
4.  Tidak kurang telitinya;
5.  Tidak fasiq;
6.  Tidak ragu-ragu;
7.  Tidak ahli bid’ah;
8.  Tidak kurang kuat hafalannya;
9.  Tidak sering menyalahi rawi-rawi yang kuat;
10.Terkenal (seorang yang dikenal oleh dua orang ahli hadits di jamannya.


Sunnah Rasul saw.

Sunah Rasul saw. terdiri dari 3 hal, yaitu : Sabdanya; Perbuatannya dan Perbuatan atau Perkataan orang lain yang dibiarkannya. Inilah yang disebut dengan “qauluhu, fi’luhu wataqriruhu.
 

SEJARAH PENULISAN HADITS

Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur'an. Oleh karenanya, hadits memiliki peranan penting dalam berbagai disiplin dan dimensi kehidupan. Rasulullah selain meninggalkan wahyu (al-Qur'an) juga As-Sunnah (Hadits) sebagai pegangan dan penuntun umat Islam dimanapun dan kapanpun. Walapun posisinya nomor dua, tetapi kedudukan hadits sangat penting dalam menjelaskan dan menjabarkan pesan-pesan atau perintah dan larangan yang ditegaskan oleh al-Qur'an.
Dari sekian kitab sunnah yang ada sekarang ini merupakan hasil kerja keras dari proses seleksi yang cukup panjang. Sejarah pengumpulan dan penulisan selalu diwarnai perdebatan panjang dalam rangka menentukan keotentikan hadits. Sikap kehati-hatian dan kecermatan telah ditunjukkan oleh para penghimpun hadits dengan cara yang selektif dan penuh pertimbangan.
Sebagian orang berpendapat bahwa pada masa Rasulullah, periwayatan hadits umumnya hanya dilakukan melalui hafalan dari satu sahabat ke sahabat lain, bukan melalui tulisan. Pertimbangannya hanya sederhana, yakni dikhawatirkan akan tercampur dengan ayat-ayat al-Qur'an. Meskipun al-Qur'an sendiri pada awalnya juga sama, bukan untuk dibukukan (ditulis). Tetapi secara tegas, Rasulullah memberikan lampu hijau kepada para sahabat supaya mencatatnya dengan alat tulis. Sehingga pengumpulan dan penulisan ayat-ayat al-Qur'an lebih mudah di bandingkan dengan kondisi hadits.
Sementara pendapat lain mengatakan bahwa pada diri hadits belum ada ketegasan tentang perintah yang jelas mengenai penulisannya. Bahkan ada sebuah riwayat yang mengatakan sebaliknya, bahwa para sahabat dilarang menulis. Atas dasar inilah kemudian tidak semua hadits dapat diterima dengan serta-merta. Sehingga satu hal yang membuktikan ketidakotentikan hadits yang dianggap berasal dari Nabi tentang pelarangan penulisan hadits adalah pernyataan Umar, berkenaan dengan maksud penghimpunan hadits. Umar diriwayatkan berkata:
"saya bermaksud menuliskan hadits Nabi. Tetapi niat itu segera kusadari bahwa umat terdahulu menulis kitab-kitab tertentu dan mereka mengabaikan kitab suci. Demi Allah, saya tidak akan membiarkan sesuatu pun yang dapat mengubah Kitab Allah. "
Riwayat di atas mengungkapkan bahwa khalifah kedualah yang untuk pertama kali, berniat menulis hadits. Dalam sebagian versi dari riwayat penulisan ini disebutkan bahwa Umar berembuk dengan para sahabat yang lain tentang perkara ini dan mereka pun menyetujuinya; tetapi pendiriannya lalu berubah karena alasan yang telah ia nyatakan, dan bukan berdasarkan larangan Nabi.
Hal lain yang dapat dikutip sebagai bukti ketidakotentikan hadits mengenai larangan penulisan hadits ialah sabda Nabi pada hari Selasa menjelang akhir hayatnya. Pada hari itu, ketika para sahabat berkumpul mengelilingi tempat wafatnya, Nabi bersabda kepada mereka :
"Bawakan kepadaku kertas dan tinta, sehingga dapat aku tuliskan sesuatu untuk kalian, yang tidak akan menyebabkan kalian terjerumus ke dalam kekeliruan."
Ada sebagian orang di bawah pimpinan Umar yang menentangnya dengan mengatakan, "Cukup bagi kita Kitab Allah." Riwayat ini menunjukkan kepada kita bahwa penulisan apa pun selain al-Qur'an bukan saja tidak dilarang, tetapi penulisan itu bahkan penting menurut pertimbangan Nabi agar ummat tidak terjebak dalam kekeliruan dan kesesatan.
Sekitar Penulisan Hadits
Mengkaji tentang seputar penulisan hadits, setidaknya akan kita jumpai dua perspektif yang berbeda. Perspektif yang pertama melarang penulisan hadits dengan memakai dasar kepada hadits yang diyakini dari Rasul. Sementara perspektif kedua, mengatakan bahwa penulisan hadits pada masa Nabi diperbolehkan, dengan bersumber pula pada hadits Nabi.
Al-Nawawi dalam bukunya yang berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, menjelaskan bahwa ada beberapa riwayat tentang pelarangan menulis hadits pada masa Rasulullah saw. Salah satu hadits yang diyakini dari Rasulullah diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri :
“Jangan kamu sekalian menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain al-Qur'an, hendaklah ia menghapusnya.”
Sejalan dengan hadits di atas, Masjfuk Zuhdi menambahkan bahwa larangan penulisan ini ada hikmahnya. Pertama, berhubungan pada waktu itu sahabat-sahabat Nabi masih banyak yang Ummi (tidak bisa baca tulis), sedang waktu itu wahyu Ilahi masih turun Qur'an, jadi Nabi mengkhawatirkan kalau-kalau mereka tidak dapat membedakan qur'an dan hadits, sehingga terjadi percampuran antara keduanya.
Kedua, Nabi percaya atas kekuatan hafalan para sahabatnya dan kemampuannya mereka untuk memelihara semua ajarannya tanpa catatan/ulisan danini berarti secara tidak langsung mendidik mereka untuk percaya pada kemampuan sendiri.
Masih menanggapi hadits Abu Sa'id al-Khudri, menurut Ja'farian hadits tersebut tidak dapat diterima keshahihannya dengan alasan berikut; Pertama, kalau kita menerima hadits itu, berarti kita tidak dapat membatasi penerapannya pada masa tertentu saja. Jika penulisan hadits tidak diperbolehkan dan haram, maka haramnya itu harus untuk setiap saat. Tetapi para perawi hadits tidak berpegang kepadanya dan pada akhirnya mereka menulis serta menghimpun berbagai hadits.
Kedua, perawi ini telah meriwatkan juga hadits yang lain yang menunjukkan boleh menulishadits,dan kalu kita menganggap kedua rangkaian hadits ini sama kuat, kita harus menolak kedua-duanya karena bertentangan. Dalam hal ini keduanya kehilangan kredibilitasnya, walaupun misalnya, kita tidak dapat membuktikan kelemahan hadits dengan cara lain.
Ketiga, Abu Sa'id al-Khudri yang meriwayatkan juga hadits ini, telah menyampaikan pernyataan lain yang bertentangan dengan ini. Ia berkata; "pada masa iti, kita tidak menuliskan apa pun kecuali al-Qur'an dan Tasahhud". Dari pernyataan ini ada dua hal yang dapat disimpulkan; pertama, Abu Sa'id al-Khudri tidak berkata bahwa mereka menuliskan hadits atas perintah Nabi, kerana seandainya demikian, ia harus menunjukkannya, kecuali kalau penjelasan tersebut bukanlah yang ia maksudkan. Kedua, ditambahkannya kata tasahhud dalam pernyataanitu tidak sesuai dengan maksud pelarangan penulisan apa pun kecuali al-Qur'an. Perlu diperhatikan bahwa dalam hadits lain yang semua dari Ibn Mas'ud, istikharah disebut bersama tasahhud. Dan masih banyak alasan lain yang berkenaan dengan riwayat Abu Sa'id al-Khudri tersebut.
Sebaliknya, di samping ada riwayat yang melarang penulisan hadits, ada juga yang membolehkannya. Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam bukunta Fath al- Bari Syarh al-Bukhari dikatakanbahwa riwayat yang membolehkan itu berasal dari Abu Hurairah. Periwayatan ini, berkaiatn dengan terjadinya "fath al-Makkah". Pada waktu itu, Rasulullah berdiri untuk menyampaikan khutbahkepada penduduk Makkah, ketika dalam penyampaian ada seorang dari Yaman berdiri bernama Abu Syah, tiba-tiba berkata; ya Rasulullah!, tuliskan (khutbah tersebut) untukku, maka Rasulullah berkata kepada para sahabat; tuliskan khutbah ini untuknya!
Penjelasan lain yang diungkapkan oleh Hasbi al-Shidiqi, merujuk kepada kitab "al-Madkhal" yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah :
“Tidak seorang dari sahabat nabi yang demikian banyak (lebih mengetahui) hadits rasul daripadaku, selain Abdullah ibn Amr ibn Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.”
Masih dalam penjelasan al-Shidiqi, bahwa ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah shahifah, ditulis di dalamnya hukum-hukum diyat yang diberatkan kepada keluarga, dan lain-lain. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa menurut sebuah riwayat, Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku catatan.
Penjelasan yang hampir senada juga dikemukakan Zuhdi, bahwa sebuah riwayat dari Nabi :
“Tulislah dariku, demi dzat (Tuhan) yang jiwaku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang benar (haq).”
Hadits tersebut, merupakan sebuah jawaban terhadap pertanyaan Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash tentang penulisan sunah-sunah. Sementara al-Shidiqi, menjelaskan riwayat tersebut bahwa selain Nabi sendiri pernah mengirim surat kepada sebagain pegawainya menerangkan kadar-kadar zakat Unta dan Kambing. Dan pernah dengan tegas Nabi memerintahkan sahabat menulis hadits.
Secara dhahir, dua versi riwayat di atas betul-betul bertentangan, karena itu para ulama mengambil suatu pendekatan untuk mengkompromikan atau mendamaikan (al-jam'u) antara keduanya. Salah satu cara untuk mengambil jalan tengah dari versi yang berbeda tersebut adalah dengan cara tarjih, yakni mengambil salah satu riwayat yang terkuat dari kedua riwayat tersebut.
Pendekatan pertama, seperti yang tertera dalam Kitab Ibn Hajar bahwa langkah yang harus ditempuh adalah dengan cara mengkritisi sanad/rawinya. Sedangkan riwayat yang berkenaan dengan larangan penulisan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri merupakan salahsatu hadits yang sanadnya mauquf, yakni terhenti sampai Abu Sa'id al-Khudri.
Pendekatan kedua, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Ushul al-Hadits bahwa perlu dilakukan sebuah langka pendamaian hadits yang bertentangan. Hadits riwayat Abu Sa'id al-Khudri, sebetulnya ditujukan kepada mereka yang menulis hadits dan al-Qur'an dalam satu shahifah, sebab selain mereka mendengar ayat yang diturunkan, juga mendengarkan penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, sehingga kalau ditulis dalam satu shahifah akan tercampur.
Pendekatan ketiga, dalam Ushul al-Hadits dikatakan bahwa larangan penulisan hadits ditujukan kepada mereka yang mempunyai hafalan yang luar biasa, sehingga kalau dibolehkan menulis hadits, dikhawatirkan selalu bergantung pada tulisan, sehingga keringanan (rukshah)menulis hadits, hanya ditujukan kepada mereka yang lemah hafalannya.
Dari ketiga pendekatan yang dilakukan oleh para ulama tersebut, al-Khatib mengambil sebuah konklusi bahwa pendekatan pertama tidak dapat diterima. Penolakan al-Khatib terhadap hadits itu beralasan bahwa sanad haditsnya masih belum jelas, bahkan sebagian imam hadits mengatakan mauquf. Sehingga al-Khatib berpendirian bahwa larangan tersebut berlaku kepada mereka yang menulis al-Qur'an dan hadits dalam satu shahifah seperti pada pendekatan kedua. Larangan Rasulullah itu beralasan bahwa hanya dikhawatirkan para shahabat akan sibuk dengan hadits, sementara penulisan al-Qur'an ditinggalkan. Begitu pula dengan keringanan (rukhshah), itu bersifat umum (‘am) dan larangan bersifat khusus (khas).
Dengan demikian, menurut Muhammad ‘Ijaj al-Khatib dan Abd Rahim ibn al-Husein al-Iraqi yang didasarkan pada pendekatan-pendekatan di atas, maka sebenarnya tidak terjadi pertentangan makna yang berarti, karena keduanya bisa dipadukan dengan alternatif-alternatif di atas, yang intinya bahwa Rasulullah menginzinkan penulisan hadits.
Hadits Masa Rasulullah
Al-Zahrani dalam bukunya "Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah" menyatakan bahwa penulisan hadits sebenarnya telah di mulai sejak masa Rasulullah. Dengan adanya hadits-hadits yang mengandung perintah untuk menulis, yang berarti penulisan hadits sesungguhnya tersebut dimulai sejak masa Rasulullah, sekalipun yang diperioritaskan adalah wahyu yang turun.
Sementara itu, hadits-hadits yang menyatakan rukshah, seperti pendapat di atas, juga didukung beberapa ungkapan para sahabat itu sendiri. Salah satunya adalah Abu Hurairah, yang menyatakan bahwa hafalannya tidak ada yang melindungi kecuali ‘Abdullah ibn ‘Amr, karena ia tidak menulis sedangkan Ibnu ‘Amr menulis hadits.
Bukti lain yang serupa adalah bentuk shahifah. Misalnya ada shahifah Abu Bakr, Shahifah ‘Ali ibn Abi Tahlib, dan shahifah ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash, semua itu merupakan bukti yang ada pada diri yang telah banyak membukukan hadits pada masa Rasulullah.
Hadits Masa Shahabat dan Tabi'in
Akram Dhiya' al-‘Umari sebagai penulis buku Buhuts fi Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah, menyadari bahwa terjadinya sebuah kontradiksi yang sangat keras di kalangan sahabat itu diakibatkan pandangan yang masih bersifat generik. Sebagian yang tidak setuju menulis hadits menolaknya mentah-mentah dan bahkan sampai ada yang membakarnya. Ada sebagian yang lain memahami larangan itu sudah di nasakh, ada pula yang menggunakan dua pendapat dalam waktu berbeda; kadang melarangnya dan kadang membolehkannya.
Kalau begitu, sesungguhnya telah ada sebuah perhatian yang sangat besar ditunjukkan para sahabat kepada hadits tersebut. Dan ini merupakan dasar bagi penulisan hadits serta lebih-lebih untuk menjaga kemurnian dan penyebarannya kepada umat Islam. Ada beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan para sahabat dalam menjaga kelestarian al-Sunnah al-Nabawiyah, sebagai berikut;
a. Menganjurkan untuk menghafal dengan disertai mengkritisi teks-teks hadits secara cermat dan tegas. Begitu pula mereka menyuruh para santrinya manulis teks-teks supaya mudah dalam menghafalnya. Setelah dirasa hafalnnya sudah mantap, tulisan tersebut dihapus agar tidak tergantung kepada tulisan dan mengurangi minat menghafal.
b. Saling mengirim tulisan hadits di antara mereka. Sebagaimana yang di riwayatkan Imam Muslim, yang menyatakan bahwa Jabir ibn Samurah menuliskan sebagian hadits Rasulullah, kemudian di kirimkan kepada ‘Amr ibn Said Abi Waqash karena permintaannya.
c.  Membukukan hadits dalam bentuk shuhuf dan melalui bentuk shuhuf inilah akhirnya kegiatan penulisan dan pengumpulan hadits pada masa-masa berikutnya.
Adapun hadits pada masa tabi'in, tidak jauh berbeda dengan hadits di masa sahabat. Di sana juga masih ada perbedaan mengenai hukum menulis hadits Rasulullah. Meskipun demikian, pada masa ini lahir beberapa ulama dengan perhatian yang sangat besar terhadap penulisan hadits. Tidak hanya itu, mereka menjaganya dengan bentuk shahifah. Ulama yang terlibat dalam penulisan ini, seperti Abi al-Zubair Muhammad ibn Muslim ibn Tadrus al-Asadi, yang menulis beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Jabir ibn ‘Abdillah dan dari yang lainnya.
Pada masa tabi'in, kegiatan tulis-menulis semakin berkembang pesat. Mereka ramai-ramai menyerbu halaqah al-‘Ilm, bahkan di antara mereka ada yang sangat memperhatikan terhadap penulisan ilmu yang mereka terima. Dengan semangat yang tinggi, mereka menyadari bahwa menulis ilmu merupakan kebutuhan, dan kondisi demikian telah membentuk sikap mereka untuk menulis dalam setiap halaqah al-‘Ilm.
Menyadari akan pentingnya penulisan ‘ilm (hadits) mereka berusaha untuk menjaganya. Sehingga berkembangnya penulisan ini juga atas pertimbangan banyak hal, misalnya 1) meluasnya periwayatan, disertai dengan sanad yang panjang, yang mencantumkan nama-nama perawi, julukan dan nasabnya, 2) para sahabat dan tabi'in tua yang terkenal kuat hafalannya, banyak yang telah meninggal dunia, tentu akan semakin besar kemungkinan hadits yang hilang, kalau tidak segera dibukukan, 3) kekuatan hafalan yang dimiliki oleh para ummat Islam pada waktu itu semakin lemah, karena makin banyak ilmu pengetahuan yang membutuhkan pemikiran juga, dan 4) munculnya gerakan-gerakan bid'ah, dan banyaknya orang-orang yang membuat hadits palsu.
Masa Umar ibn ‘Abd Aziz
Setelah melalui beberapa periode, Umar ibn ‘Abd Aziz termasuk orang yang mempunyai hasrat besar terhadap pembukuan hadits. Menurut sejarahnya, semula yang ingin membukukan adalah ayahnya (‘Abd Aziz ibn Marwan), ketika menjabat sebagai gubernur di Mesir. Pada waktu itu, ia menulis permohonan kepada Kathir ibn Murrah al-Khadlrami, seorang tabi'in yang pernah bertemu dengan 70 ahli badr, untuk menulis apa-apa yang pernah didengar dari hadits-hadits Rasulullah. Namun hasil akhirnya belum dapat diketahui secara jelas.
Akhirnya, Umar ibn ‘Abd Aziz meneruskan usaha tersebut, dan segera menulis surat kepada Abu Bakr ibn Hazm, yang intinya meminta kepadanya untuk menulis hadits-hadits Rasulullah dari Umrah binti ‘Abd al-Rahman al-Anshariyah dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Selain itu, Umar juga meminta kepada ulama yang ada diseluruh wilayah Islam. Sebelum selesai penulisan, Abu Bakr ibn Hazm meninggal dunia. Setelah itu, usaha yang maksimal baru dikerjakan oleh Imam Muhammad ibn Syihab al-Zuhri. Ia di tugasi Umar untuk mengumpulkan seluruh hadits-hadits Rasulullah, yang kemudian dijadikan sebuah buku. Al-Zuhri termasuk orang pertama kali yang dapat membukukan hadits secara resmi dan menyeluruh.
Hadits Masa Abad Kedua dan Ketiga Hijrah
Pada abad kedua hijrah terdapat dua generasi, yaitu generasi shighar al-tabi'in dan generasi atba'u al-tabi'in. Generasi pertama, mereka yang hidup sampai setelah tahun 140 hijrah. Sedangkan generasi kedua, mereka yang hidup setelah periode sahabat dan tabi'in, dalam tingkatan periwayatan hadits dan penyebaran agama Islam kepada umat, generasi ini mempunyai peranan sangat besar dalam menghadapi ahl al-bida' wa al-ahwa', dan berusaha sekuat tenaga dalam menghalau segala bentuk kebohongan hadits (al-wadl'u fi al-hadits) yang dipelopori oleh kelompok al-Zanadiyah. Umumnya, mereka sangat berhati-hati ketika melakukan seleksi hadits untuk dibukukan dan sekaligus disusunnya dalam bentuk susunan bab. Selain itu, keberhasilan mereka adalah menyusu ilm al-rijal, yang ditandai dengan adanya buku-buku yang ditulis oleh al-Laits ibn Sa'ad, Ibn al-Mubarak, Dlamrah ibn Rabi'ah dan lain-lain.
Selain itu, abad kedua juga terkenal dengan banyaknya ulama yang muncul. Mereka sangat faham tetang kronologis periwayatan hadits, mereka itu adalah Imam Malik, imam Syafi'I, imam al-Tsauri, Imam al-Auza'I dan lain-lain. Semua itu adalah figur pertama yang menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.
Adapun pada abad ketiga hijrah, kondisinya jauh berbeda dengan abad sebelumnya. Abad ini sampai dikenal dengan the golden age bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam, terutama yang berkaitan dengan Hadits. Perkembangan semacam itu akibat tumbuhnya semangat untuk mengadakan rihlah ilmiah dalam rangka mencari hadits, dan sebgai kelanjutannya menulis sebuah ilm al-rijal yang banyak beredar buku-buku kumpulan hadits seperti, al-Kutub al-Sittah, dan al-Masanid, yang sampai sekarang menjadi rujukan dalam bidang hadits. Semua buku tersebut merupakan sumbangan besar dalam perkembangan ilmu hadits dari ulama yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, Ali ibn al-Madini, al-Bukhari, Imam Muslim, Ishaq ibn Rahwaih dan lain-lain.
Satu hal lagi, bahwa dari perkembangan yang sangat pesat itu, telah menjadi tonggak sejarah penulisan dan penyusunan hadits. Dan pada abad ini pula merupakan batas yang membedakan antara muta'akhirin dan mutaqaddimin, karena ulama-ulama setelah itu tidak menghasilkan karya seperti abad sebelumnya. Mereka mungkin hanya berusaha untuk memperbaiki susunannya, mengadakan tahdzib dan seterusnya.
Catatan Akhir
Dari beberapa riwayat dan argumentasi yang dikemukakan para ulama di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya kegiatan tulis menulis ---termasuk hadits-- sudah dimulai sejak masa Rasulullah. Problema yang terjadi pada penulisan hadits hanya di dasarkan pada kekhawatiran belaka. Padahal jika kita cermati secara mendalam, alasan kekhawatiran tersebut sangat lemah. Sebagaimana penolakan yang ditunjukkan oleh Abu Ruyyah dalam kitabnya "Adwa' ala Sunnah Muhammadiyah" yang dikutip Rasul Ja'farian dalam al-Hikmah dikatakan sebagai berikut:
"Alasan demikian mungkin tampak meyakinkan bagi orang awam, tetapi tidak dapat diterima oleh para peneliti. Sebab, itu berarti manyamakan keindahan bahasa al-Qur'an setingkat dengan hadits".
Kekhawatiran tercampurnya hadits dengan al-Qur'an mustakhil akan terjadi, karena salah satu letak kemukjizatan al-Qur'an adalah keindahan bahasa. Dan jika kekhawatiran tersebut diyakini, maka berarti mengingkari keistimewaan (mukzizat) al-Qur'an. Bahasa Al-Qur'an merupakan mukjizat yang sulit ditandingi oleh bahasa siapa pun, termasuk oleh rasul sendiri. Abu Ruyyah menganggap bahwa bukan karena ketakutan tercampur antarahadits dan ayat al-Qur'an, akan tetapi ada yang lebih daripada itu yang belum terketahui.
Lebih lanjut, Ruyyah menyatakan bahwa meyakini adanya kemungkinan bercampuraduknya al-Qur'an dengan hadits berarti meyakini adanya kemungkinan pengurangan ayat dalam al-Qur'an. Keyakinan ini tidak dibenarkan karena keaslian al-Qur'an sudah dijamin oleh Allah.
Sungguh, telah Kami turunkan al-Qur'an (pemberi peringatan). Dan Kamijualah memeliharanya (Q.S. 15:9).
Lebih lanjut, Ja'farian menggugat bahwa alasan lain yang diberikan dalam soal penulisan hadits, kemudian orang akan mengabaikan al-Qur'an karena memberikan seluruh perhatiannya kepada hadits. Argumen ini tidak dapat diterima, sebab hal yang sama dapat terjadi terhadap al-Qur'an dan hadits yang disampaikan secara lisan. Memang benar bahwa perhatian ekslusif terhadap hadits merupakan penyimpangan yang bagi mereka memiliki kecenderungan ke sana, sehingga harus diperingatkan dan diminta untuk memberikan perhatian yang sama terhadap al-Qur'an. Tetapi larangan terhadap penulisan hadits, yang menimbulkan kerusakan yang sulit diperbaiki pada kebudayaan Islam, bukanlah cara yang tepat untuk mendapatkan hasil semacam itu.
Sumber : Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

KITAB TENTANG AZAN (KITAB KE-11)

BAB
NO.
KITAB  TENTANG AZAN (Kitab ke-11)
1
Asal-usul azan

370.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, dia berkata : Ketika kaum muslimin tiba di Madinah, mereka berkumpul untuk melaksanakan shalat dengan menggunakan hitungan waktu tanpa azan. Pada suatu hari mereka berdiskusi mengenai panggilan shalat. Sebagian mereka mengusulkan penggunaan lonceng seperti yang dipergunakan oleh orang-orang kristen. Sebagian lain mengusulkan penggunaan terompet bagai tanduk yang dipergunakan oleh orang-orang Yahudi. Umar mengusulkan, “Sebaiknya tugaskanlah seseorang untuk menyerukan panggilan shalat”. Maka Rasulullah s.a.w bersabda, “Hai Bilal! Berdirilah, lalu kumandangkan azan untuk panggilan shalat.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 604)
2
Kalimat azan, masing-masing dua kali

371.
Diriwayatkan dari Anas r.a, dia berkata : Bilal diperintahkan mengulang kalimat azan masing-masing dua kali, sedangkan kalimat iqamat masing-masing satu kali, kecuali qad qaamatish shalaah.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor: 605)
3
Keutamaan azan

372.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah s.a.w pernah bersabda : “Apabila azan dikumandangkan, setan lari terbirit-birit hingga terkentut-kentut sampai dia tidak mendengar azan. Ketika azan sudah selesai, setan datang lagi. Ketika iqamat disurarakan, setan lari menyingkir, dan apabila iqamat sudah selesai, setan datang lagi untuk menggoda orang yang sedang melaksanakan shalat agar tidak khusyu’ dan membuatnya teringat apa yang tidak diingatnya di luar shalat, sehingga orang tersebut tidak tahu berapa jumlah rakaat yang telah dijalaninya.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 608)
4
Mengeraskan seruan azan

373.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudriy r.a, dia berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda (mengenai perintah mengeraskan seruan azan), “Siapapun yang mendengar suara azan, baik jin, manusia dan makhluk lain, akan menjadi saksi bagi muazzin (penyeru azan) pada hari kiamat.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 609)
5
Menangguhkan pertempuran ketika mendengar azan

374.
Diriwayatkan dari Anas r.a, bahwa ketika Nabi s.a.w bertempur bersama kami melawan suatu kaum, beliau tidak menyerang sebelum Subuh, lalu beliau memperhatikan suara azan. Jika beliau mendengar suara azan, beliau menghentikan serangan dan jika beliau tidak mendengar suara azan, beliau terus menggempur mereka.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 610)
6
Bacaan ketika mendengar azan

375.
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudriy r.a, bahwa Rasulullah s.a.w pernah bersabda : “Apabila kalian mendengar azan, ucapkanlah seperti apa yang diucapkan oleh muazzin.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 611)
376.
Diriwayatkan dari Mu’awiyah r.a. : Sama dengan hadits di muka (nomor 375) sampai pada kalimat, “Wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullaah”. Ketika muazizin menyerukan Hayya ‘alashshalaah, pendengar hendaklah mengucapkan, “Laa haula walaa quwwata illa billaah”. Kata Mu’awiyah : Demikianlah apa yang pernah saya dengar dari Nabi s.a.w.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 612)
7
Do’a sesudah azan

377.
Diriwayatkan dari jabir bin Abdullah r.a, bahwa Rasulullah s.a.w pernah bersabda : “Siapa yang berdo’a setelah mendengar azan dengan do’a sebagai berikut, “Allaahumma ..... wa’adtah, maka dia berhak mendapat syafaatku pada hari kiamat”. (Makna do’a tersebut : “Ya Allah, Tuhan yang memiliki seruan yang sempurna ini dan shalat yang akan didirikan. Berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan keutamaan, serta bangkitkanlah ia di tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya”).
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 614)
8
Undian untuk azan

378.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah s.a.w pernah bersabda : “Seandainya orang-orang tahu betapa besar pahala azan dan shalat berjamaah pada shaf pertama, lalu mereka tidak bisa melaksanakannya kecuali melalui undian, niscaya mereka akan melakukan undian itu. Seandainya orang-orang tahu betapa besar pahala shalat zhuhur tepat waktu, tentu mereka akan berlomba melaksanakannya. Seandanya orang-orang tahu betapa besar pahala shalat Isya dan Subuh, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun harus dengan merangkak (yakni melaksanakan shalat-shalat tersebut dengan berjamaah di masjid).”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 615)
9
Azan orang buta jika ada orang lain yang memberitahukan kepadanya tentang tibanya waktu shalat

379.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa Rasulullah s.a.w pernah bersabda : “Bilal menyerukan azan pada malam hari, kalian masih boleh makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum menyerukan azan Subuh”. Kata Abdullah bin Umar : Ibnu Ummi Maktum seorang laki-laki buta, dia tidak menyerukan azan kecuali setelah diberitahu bahwa Subuh telah tiba.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 617)
10
Azan setelah fajar terbit

380.
Diriwayatkan dari Hafshah r.a, bahwa ketika muazzin menyerukan azan Subuh dan waktu Subuh telah tiba, Rasulullah s.a.w melaksanakan shalat sunah dua rakaat dengan tidak terlalu lama, sebelum iqamat disurakan.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 618)
11
Azan sebelum fajar terbit

381.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. Nabi s.a.w pernah bersabda : “Janganlah seseorang berhenti makan sahur karena mendengar azan Bilal, karena Bilal menyerukan azan pada malam hari agar orang yang bertahajjud segera menyelesaikan tahajjudnya, dan orang yang masih tidur agar segera bangun, karena azan Bilal bukanlah terbit fajar atau tibanya waktu Subuh”. Abdullah bin Mas’ud memperagakan bagaimana Nabi s.a.w menggerakkan jari-jari tangannya dan mengangkatnya ke atas, kemudian menurunkannya ke bawah seperti ini, (kata perawi) : Abdullah bin Mas’ud memperagakan dua jari (telunjuk dan jari tengah) dengan menindihkan salah satunya pada yang lain, kemudian dia menggerakkannya ke kanan dan ke kiri.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 621)
12
Antara azan dan iqamat ada shalat sunah bagi orang yang mau mengerjakannya

382.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal Al-Muzaniy r.a, bahwa Rasulullah s.a.w pernah bersabda : “Di antara azan dan iqamat terdapat shalat sunah”, —beliau mengatakannya tiga kali—, setelah itu beliau melanjutkan : “Bagi orang yang mau mengerjakannya”. Menurut riwayat lain, sabda Rasulullah s.a.w tersebut berbunyi : “Antara azan dan iqamat terdapat shalat sunah”. Kemudian beliau melanjutkan sabdanya : “Bagi orang yang mau mengerjakannya.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 627)
13
Menugasi seorang muazzin dalam perjalanan

383.
Diriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits r.a, dia berkata : Saya bersama beberapa orang dari suku saya mendatangi Nabi s.a.w, kemudian kami tinggal bersama beliau selama 20 malam. Beliau sangat menyayangi dan berbelas kasih kepada kami. Setelah Rasulullah s.a.w memahami bahwa kami merindukan keluarga kami, beliau bersabda : “Silahkan kalian pulang dan tinggal bersama keluarga kalian! Ajarkan Islam kepada mereka dan dirikanlah shalat! Apabila waktu shalat tiba hendaklah salah salah seorang dari kalian menyerukan azan, lalu orang yang paling tua di antara kalian hendaklah menjadi imam shalat.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 628)
384.
Diriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits r.a, dalam riwayat lain : Dua orang laki-laki datang kepada Nabi s.a.w, keduanya akan menempuh perjalanan, kemudian Nabi s.a.w bersabda : “Apabila kalian menempuh perjalanan dan waktu shalat tiba, maka serukanlah azan, kemudian iqamat, dan orang yang lebih tua hendaklah menjadi imam shalat.”
14
Azan dan iqamat dalam perjalanan jika hendak shalat jamaah

385.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a bahwa dalam suatu perjalanan pada malam yang dingin dan turun hujan, Rasulullah s.a.w menyuruh seseorang menyerukan azan, dengan menambahkan kalimat sesudah azan (yang artinya) : Kerjakanlah shalat di tempat (tenda) masing-masing!”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 632)
15
Ucapan seseorang  : Kita tertinggal shalat

386.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah r.a, dia berkata : Ketika kami sedang melaksanakan shalat bersama Nabi s.a.w, tiba-tiba beliau mendengar suara gaduh beberapa orang (yang berlarian). Seusai shalat, Rasulullah s.a.w bertanya: “Mengapa tadi kalian membuat gaduh?” Mereka menjawab : “Kami terburu-buru agar bisa mengikuti shalat”. Rasulullah s.a.w bersabda : “Jangan begitu! Apabila kalian hendak melakukan shalat, tenanglah! Kerjakanlah shalat yang bisa kau dapatkan bersama imam, dan sempurnakanlah sendiri rakaat yang tertinggal.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 635)
16
Kapan Makmum harus berdiri ketika mereka melihat imam pada saat iqamat

387.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah r.a, dia berkata : Rasulullah s.a.w pernah bersabda, “Apabila iqamat telah diserukan, maka janganlah kalian berdiri sehingga melihatku.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 637)
17
Imam yang terhalang oleh suatu urusan setelah iqamat

388.
Diriwayatkan dari Anas r.a, dia berkata : Suatu ketika iqamat diserukan, sementara Nabi s.a.w sedang berbisik dengan seorang laki-laki di samping masjid, maka Nabi s.a.w tidak segera mengimami shalat sehingga beberapa orang tertidur sekejap (sambil duduk).
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 642)
18
Wajibnya shalat jamaah

389.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah s.a.w pernah bersabda : “Demi Allah yang menguasai diriku! Ingin rasanya aku perintahkan pengumpulan kayu bakar lalu aku perintahkan seseorang menyerukan azan untuk shalat, kemudian aku tugasi seseorang menjadi imam, sementara aku berangkat mendatangi orang-orang yang tidak menghadiri shalat jamaah lalu aku bakar rumah-rumah mereka sekaligus dengan mereka. Demi Allah yang menguasai diriku! Seandainya salah seorang dari mereka mengetahui pahala shalat jamaah, tentu dia akan menghadiri shalat jamaah Isya bagaikan seseorang yang memperoleh keratan tulang yang dilipat daging yang amat banyak atau dua kerat tulang rusuk dengan dilipat daging yang bagus.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 644)
19
Keutamaan shalat jamaah

390
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa Rasulullah s.a.w pernah bersabda : “Shalat jamaah lebih utama 27 kali lipat daripada shalat sendirian.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 645)
20
Keutamaan shalat Subuh dengan berjamaah

391.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dia berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda, “Shalat jamaah pahalanya 25 kali lipat daripada shalat sendirian. Para malaikat yang bertugas pada malam hari berkumpul dengan malaikat yang bertugas pada siang hari ketika shalat Subuh”. Kemudian Abu Hurairah mengatakan : Jika kamu mau, perhatikanlah ayat (yang artinya) : “Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan oleh para malaikat.” (Al-Qur’an, surat Al-Isra : 78).
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 648)
392.
Diriwayatkan dari Abu Musa r.a, dia berkata : Nabi s.a.w pernah bersabda, “Peserta shalat jamaah yang lebih besar pahalanya adalah orang yang lebih jauh perjalanannya ke masjid, semakin jauh semakin besar pahalanya. Orang yang menunggu pelaksanaan shalat sehingga dia melaksanakannya dengan berjamaah lebih besar pahalanya daripada orang yang melaksanakan shalat tanpa menunggu, kemudian tidur.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 651)




21
Keutamaan melaksanakan shalat Zhuhur tepat waktu

393.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah s.a.w pernah bersabda : “Ketika seseorang menyusuri jalan, dia mendapati sebatang kayu berduri, kemudian dia menyingkirkannya dari jalan, lalu Allah membalas perbuatan baiknya dan mengampuni dosanya”. Sabda Nabi s.a.w selanjutnya : “Mati syahid itu lima macam, 1) Orang yang mati karena wabah ganas; 2) Orang yang mati karena sakit perut; 3) Orang yang mati tenggelam; 4) Orang yang mati karena terbentur/tertimbun sesuatu; 5) Orang yang mati dalam peperangan membela agama Allah”. Bagian akhir hadits ini sudah disebutkan terdahulu di muka (nomor hadits 378) yang menyebutkan keutamaan shalat Zhuhur tepat waktu.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 652)
22
Perhitungan tiap langkah menuju kebaikan

394.
Diriwayatkan dari Anas r.a, bahwa suku Salimah ingin meninggalkan rumah-rumah mereka, lalu mereka berpindah ke tempat yang dekat dengan Nabi s.a.w. Kata Anas : Rasulullah s.a.w tidak setuju bila mereka mengosongkan wilayah Madinah yang mereka tempati. Rasulullah s.a.w bersabda, “Perhatikanlah bahwa terdapat perhitungan pahala pada setiap langkah kalian menuju masjid Nabawi.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 656)
23
Keutamaan shalat Isya dengan berjamaah

395.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dia berkata : Rasulullah s.a.w telah bersabda, “Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Subuh dan Isya. Seandainya mereka mengetahui betapa besar pahala kedua shalat tersebut dengan berjamaah, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun harus dengan merangkak.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 657)
24
Duduk di masjid menunggu pelaksanaan shalat jamaah dan keutamaan masjid

396.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi s.a.w pernah bersabda : “Ada tujuh golongan yang akan diberi naungan oleh Allah yang pada hari itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, 1) Pemimpin yang adil; 2) Anak muda yang menjalani hidup untuk beribadah kepada Allah; 3) Orang yang hatinya terikat dengan masjid; 4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena Allah; 5) Laki-laki yang diajak berbuat mesum oleh perempuan yang terpandang dan jelita, lalu laki-laki tersebut menjawab, ‘Saya takut kepada Allah’; 6) Orang yang bersedekah dengan merahasiakannya, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; 7) Orang yang mengingat Allah dalam kesunysehingga air matanya bercucuran.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 660)
25
Keutamaan orang yang mondar-mandir ke masjid untuk shalat jamaah

397.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi s.a.w pernah bersabda : “Orang yang pergi ke masjid setiap pagi dan sore hari untuk shalat jamaah, Allah akan mempersiapkan untuknya tempat di surga setiap kali ia pergi pada pagi dan sore hari.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 662)
26
Apabila iqamat sudah disuarakan maka tidak ada shalat

398.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Malik bin Buhainah r.a, seorang laki-laki dari suku Azd bahwa ketika iqamat telah diperdengarkan, Rasulullah s.a.w melihat seorang laki-laki melaksanakan shalat dua rakaat. Setelah Rasulullah s.a.w mengimami shalat subuh, beliau dikerumuni oleh para jamaah, kemudian beliau menegur laki-laki yang melaksanakan shalat dua rakaat tadi : “Apakah shalat subuh itu empat rakaat? Apakah shalat subuh itu empat rakaat?
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 663)
27
Batas orang sakit dalam mengikuti shalat jamaah

399.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a, dia berkata : Ketika sakit Rasulullah s.a.w semakin parah dan ketika itu waktu shalat tiba serta azan pun sudah dikumandangkan, beliau bersabda, “Suruh Abu Bakr mengimami shalat!” Rasulullah s.a.w diberitahu bahwa Abu Bakr adalah orang yang berhati lunak sehingga dia tidak akan mampu mengganti Nabi s.a.w sebagai imam shalat. Rasulullah s.a.w mengulangi perintahnya yang ketiga kalinya seraya mengatakan, “Kalian seperti perempuan-perempuan yang terlibat dalam peristiwa Yusuf. Perintahkan Abu Bakr untuk mengimami shalat!” Abu Bakr keluar ke masjid untuk melaksanakan shalat shalat, sementara sakit Nabi s.a.w terasa reda, lalu beliau keluar ke masjid dengan dipapah oleh dua orang laki-laki. Sepertinya saya melihat kedua kaki beliau menyeret tanah. Begitu melihat Nabi s.a.w datang ke masjid, Abu Bakr ingin mundur, namun Nabi s.a.w berisyarat agar Abu Bakr tetap berada di depan. Nabi s.a.w terus dipapah, sehingga beliau duduk di samping Abu Bakr. Rasulullah s.a.w melaksanakan shalat, sementara Abu Bakr mengerjakan shalat di belakang beliau, sedangkan para jamaah mengikuti shalat Abu Bakr r.a. Riwayat lain menyebutkan : Rasulullah s.a.w shalat dengan duduk di sebelah kiri Abu Bakr, sementara Abu Bakr shalat dengan berdiri.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor :664)
400.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a ―pada jalur periwayatan yang berbeda― dia berkata : Ketika sakit Nabi s.a.w semakin berat, beliau meminta izin kepada isteri-isterinya untuk dirawat di rumah saya, lalu mereka pun setuju. Lanjutan hadits ini sama dengan hadits nomor 399.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 665)
28
Apakah imam melaksanakan shalat dengan makmum seadanya dan apakah ia berkhotbah pada hari jum’at ketika hujan turun?

401.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a, bahwa suatu ketika dia berkhotbah pada hari turun hujan dan berlumpur. Ketika muazzin semestinya mengucapkan hayya ‘alash shalaah, Abdullah bin Abbas menyuruh muazzin mengucapkan ashashalaah firrihaal (laksanakan shalat di tempat/tenda masing-masing). Orang-orang saling berpandangan seolah menemukan kejanggalan, kemudian Abdullah bin Abbas berkata : “Sepertinya kalian menemukan kejanggalan  pada ucapan muazzain tadi?” Demikian itu pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari saya ―Yakni Nabi Muhammad s.a.w.― “Sesungguhnya shalat adalah perintah yang tidak bisa ditawar dan saya tidak suka menyulitkan kalian.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 668)
402.
Diriwayatkan dari Anas r.a, dia berkata : Seorang laki-laki dari kaum Anshar berkata kepada Nabi s.a.w, “Saya tidak mampu mengikuti shalat jamaah dengan Anda”. Laki-laki tersebut bertubuh gemuk. Dia menyiapkan makanan lalu mengundang Nabi s.a.w ke rumahnya. Dia membentangkan tikar dan membersihkan salah satu sisinya dengan air. Rasulullah s.a.w mengerjakan shalat dua rakaat di atas tikar tersebut. Seorang laki-laki dari keluarga jarud bertanya kepada Anas, “Apakah Nabi s.a.w senantiasa melakukan shalat Dhuha?” Anas menjawab, “Saya tidak pernah melihat beliau mengerjakan shalat dhuha kecuali pada hari itu.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 670)
29
Apabila makanan telah dihidangkan sementara iqamat disuarakan

403.
Diriwayatkan dari Anas r.a, bahwa Rasulullah s.a.w pernah bersabda : “Apabila makan sore/makan malam telah dihidangkan, maka santaplah dulu sebelum melaksanakan shalat Maghrib dan janganlah makan dengan terburu-buru.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 672)
30
Keluar untuk shalat ketika ada kesibukan di rumah

404.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a, dia pernah ditanya mengenai apa yang diperbuat oleh nabi s.a.w di rumah. Aisyah r.a menjawab : “Nabi s.a.w melaksanakan tugas-tugas untuk keperluan rumah tangga dan apabila waktu shalat tiba, beliau keluar ke masjid untuk melaksanakan shalat.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 676)
31
Shalat di depan orang banyak untuk mengajarkan shalat kepada mereka sesuai dengan shalat Nabi s.a.w.

405.
Diriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits r.a, dia berkata : Saya melaksanakan shalat di depan kalian bukan bertujuan menjadi imam, melainkan untuk memperlihatkan bagaimana shalat Nabi s.a.w yang pernah saya lihat.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 677)
32
Orang yang berilmu dan mempunyai keutamaan lebih berhak menjadi imam

406.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a : bunyi hadits ini seperti yang telah disebutkan di muka, “Perintahkan kepada Abu Bakr untuk mengimami shalat”. Pada riwayat ini Aisyah menuturkan sanggahannya kepada Nabi s.a.w, “Abu Bakr tidak akan mampu menggantikan Anda menjadi Imam, karena dia pasti akan menangis sehingga tidak bisa mengeraskan bacaan shalat. Sebaiknya Anda perintahkan Umar saja untuk mengimami shalat”. Kata Hafshah, “Saya meminta Hafshah untuk mengatakan hal yang serupa kepada Nabi s.a.w, bahwa Abu Bakr tidak akan mampu menggantikan Nabi s.a.w mengimami shalat karena dia pasti akan menangis sehingga tidak bisa mengeraskan bacaannya, karena itu sebaiknya Nabi s.a.w menyuruh Umar untuk mengimami shalat”. Hafshah melaksanakan permintaan Aisyah tersebut, kemudian Rasulullah s.a.w bersabda, “Diamlah! Kalian ini seperti perempuan-peremapuan yang terlibat dalam peristiwa Yusuf. Suruhlah Abu Bakr untuk mengimami shalat!” Hafshah mengatakan kepada Aisyah, “Saya tidak beruntung dalam melaksanakan permintaanmu.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 679)
407.
Diriwayatkan dari Anas r.a, bahwa Abu Bakr r.a mengimami shalat kaum muslimin ketika Rasulullah s.a.w sakit menjelang wafat. Pada hari Senin itu para jamaah sudah berbaris hendak melaksanakan shalat, lalu Nabi s.a.w membuka tirai kamarnya sambil berdiri melihat ke arah kami. Wajahnya bersinar seolah lembaran mushhaf dengan senyuman riang. Kami semua merasa senang melihat Nabi s.a.w. Abu Bakr r.a melangkah mundur karena menyangka Nabi s.a.w akan keluar ke masjid mengimami shalat, namun beliau berisyarat agar kami menyempurnakan shalat kami. Nabi s.a.w menutupkan tirai kamarnya lagi. Pada hari itulah beliau wafat.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 680)
33
Seorang siap menjadi imam pengganti kemudian imam aslinya datang

408.
Diriwayatkan dari Shal bin Sa’d As-Sa’idy r.a, bahwa Rasulullah s.a.w pergi untuk mendamaikan suku ‘Amru bin Auf. Ketika itu waktu shalat tiba. Seusai menyerukan azan, muazzin mendatangi Abu Bakr dengan mengatakan : “Sudikah Anda mengimami kami shalat sehingga akan saya serukan iqamat?” Abu Bakr menjawab : “Ya”. Abu Bakr mengimami shalat. Ketika orang-orang sedang melaksanakan shalat, Rasulullah s.a.w datang, kemudian beliau menerobos hingga berada di baris depan. Orang-orang menepukkan tangan, tetapi Abu Bakr tetap tidak menoleh. Ketika orang-orang terus terus menepukkan tangan, Abu Bakr menoleh sehingga dia melihat Rasulullah s.a.w, namun beliau memberi isyarat kepada Abu Bakr agar tetap berada di tempatnya. Abu Bakr mengangkat tangannya dan memuji Allah atas apa yang diperintahkan kepadanya oleh Rasulullah s.a.w, kemudia dia melangkah mundur ke shaff terdepan, lalu Rasulullah s.a.w maju menjadi imam. Seusai shalat, Rasulullah s.a.w bertanya : “Hai Abu Bakr! Mengapa kau tidak mau tetap berada di tempatmu sebagai imam shalat ketika aku perintahkan demikian tadi?” Abu Bakr menjawab : “Putra Abu Quhafah (yakni Abu Bakr) tidak berani menjadi imam shalat sementara Rasulullah s.a.w berada di belakangnya sebagai makmum”. Rasulullah s.a.w bersabda : “Mengapa tadi aku melihat kalian banyak menepukkan tangan? Siapa yang mengalami sesuatu dalam shalat (lalu ingin memberikan peringatan kepada imam), maka ucapkanlah Subhaanallaah, maka dengan begitu imam akan mengerti, karena tepukkan tangan itu hanya untuk kaum wanita.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 684)
34
Imam ditunjuk untuk diikuti

409.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a, dia berkata : Ketika sakit Rasulullah s.a.w sangat parah, beliau bertanya, “Apakah orang-orang sudah melaksanakan shalat?” Kami menjawab, “Belum, ya Rasulullah! Mereka menunggu Anda”. Kata beliau, “Siapkan air untukku!” Kata Aisyah : Kami pun menyiapkannya, kemudian Rasulullah s.a.w mandi. Setelah itu beliau hendak berdiri, namun beliau pingsan. Setelah sadar beliau bertanya, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab, “Belum, ya Rasulullah! Mereka menunggu Anda”. Kata beliau, “Siapkan air lagi untukku!” Kata Aisyah : Kemudian Rasulullah s.a.w duduk lalu mandi. Setelah itu beliau hendak berdiri, namun beliau pingsan lagi. Setelah sadar beliau bertanya, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab, “Belum, ya Rasulullah! Mereka menunggu Anda”. Kata beliau : “Siapkan air lagi untukku!” Kemudian Rasulullah s.a.w duduk lalu mandi. Setelah beliau hendak berdiri, namun beliau pingsan lagi (yang ketiga kalinya). Setelah sadar beliau bertanya, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab, “Belum, ya Rasulullah”. Ketika orang-orang masih saja menunggu Rasulullah s.a.w di masjid untuk mengimami shalat Isya, Rasulullah s.a.w mengutus seseorang untuk menemui Abu Bakr untuk menyampaikan pesan agar Abu Bakr mengimami shalat. Abu Bakr ―yang berhati lunak― mengatakan, “Hai Umar! Kau saja yang menjadi imam shalat!” Kata Umar, “Kau saja yang menjadi imam shalat!” Kata Umar, “Kau lebih berhak”. Maka Abu Bakr menjadi imam shalat selama beberapa hari. Bagian akhir hadits ini sudah disebutkan di muka (hadits nomor : 399).
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 687)
410.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a, mengenai shalat Nabi s.a.w di rumah ketika beliau sakit parah seperti hadits yang disebutkan di muka. Dalam hadits ini disebutkan bahwa apabila imam shalat dengan duduk, maka makmum harus shalat dengan duduk.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 688)
35
Kapan makmum bersujud?

411.
Diriwayatkan dari Al-Barra’ r.a, dia berkata : Ketika Rasulullah s.a.w mengucapkan di dalam shalat Sami’allaahuliman hamidah tidak ada seorang makmum pun bersujud sampai Nabi s.a.w bersujud. Setelah Nabi s.a.w bersujud, maka kami bersujud.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 690)
36
Dosa makmum yang bangun dari sujud mendahului imam

412.
Diriwayatkan dari Abu Hurarirah r.a, bahwa Nabi s.a.w pernah bersabda : “Tidak takutkah seseorang (seorang makmum) yang bangun dari sujud mendahului imam kelak di akhirat kepalanya diubah oleh Allah menjadi kepala keledai, atau rupanya diubah oleh Allah menjadi rupa keledai?”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 691)
37
Budak laki-laki atau anak laki-laki yang belum baligh menjadi imam

413.
Diriwayatkan dari Anas r.a, bahwa Nabi s.a.w pernah bersabda : “Dengarkan dan patuhilah imammu, walaupun dia seorang habasyi (Ethiopia) yang rambutnya seperti kismis.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 693)
38
Apabila imam tidak sempurna dalam mengerjakan shalat, sedangkan makmum mengerjakan shalat dengan sempurna

414.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah s.a.w pernah bersabda : “Apabila imam mengerjakan shalat dengan sempurna, maka makmum dan imam sama-sama mendapat pahala. Jika imam melakukan kesalahan, maka makmum tetap mendapat pahala, sedangkan kesalahan tersebut menjadi tanggungan imam.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 694)
39
Makmum berada di sebelah kiri imam agak sejajar apabila imam hanya diikuti oleh seorang makmum (yang bukan lain jenis)

415.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, sebagaimana hadits yang telah disebutkan di muka ketika Ibnu Abbas bermalam di rumah bibinya (yaitu Maimunah, isteri Nabi s.a.w). Dalam hadits ini Ibnu Abbas mengatakan : ... kemudian Rasulullah s.a.w tidur sehingga suara napasnya terdengar ―biasanya ketika beliau tidur, suara napasnya terdengar― lalu beliau dijemput oleh muazzin, kemudian beliau keluar ke masjid untuk melaksanakan shalat subuh tanpa berwudhu lagi.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 698)
40
Imam yang shalat dengan lama sehingga ada makmum yang keluar lalu shalat sendirian

416.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a bahwa Mu’adz bin Jabal mengerjakan shalat bersama Nabi s.a.w. Setelah itu dia pulang untuk menjadi imam shalat di kaumnya. Mu’adz mengimami shalat Isya dengan membaca surat Al-Baqarah, kemudian ada seorang makmum meninggalkan shalat jamaah. Mu’adz merasa tidak enak dengan ulah seorang makmum tersebut. Setelah informasi tersebut sampai kepada Nabi s.a.w beliau bersabda kepada Mu’adz : “Kamu pemicu fitnah; kamu pemicu fitnah, kamu pemicu fitnah”. Beliau bersabda seperti itu tiga kali. Nabi s.a.w menyuruh Mu’adz untuk membaca dua surat yang tidak panjang.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 701)
41
Imam tidak memperlama berdiri, dan menyempurnakan ruku’ serta sujud

417.
Diriwayatkan dari Abu Mas’ud r.a, bahwa ada seorang laki-laki melaporkan kepada Rasulullah s.a.w. : “Demi Allah, ya Rasulullah! Saya tidak mau mengikuti shalat jamaah Subuh karena si Fulan yang menjadi imam memperpanjang shalat”. Kata Abu Mas’ud : Saya tidak pernah melihat Rasulullah s.a.w marah sekeras marah beliau ketika itu dalam menyampaikan nasehat. Beliau barsabda, “Di antara kalian ada orang yang menjadi imam yang membuat makmum berlari menghindari shalat jamaah. Siapapun yang menjadi imam hendaklah ia melaksanakan shalat dengan singkat (tidak lama-lama), karena ada makmum yang lemah, ada yang sudah tua, dan ada makmum yang akan menyelesaikan keperluannya.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 702)
418.
Diriwayatkan dari jabir bin Abdullah r.a mengenai hadits Mu’adz di muka (nomor 416) bahwa Rasulullah s.a.w bersabda kepada Mu’adz : “Mengapa kamu tidak membaca surat Al-A’laa, Asy-Syamsy, atau Al-Lail ketika kamu menjadi imam shalat?”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 705)
42
Memperpendek shalat jamaah tanpa mengurangi kesempurnaannya

419.
Diriwayatkan dari Anas r.a, dia berkata : Nabi s.a.w senantiasa memendekkan shalat jamaah namun tetap menyempurnakannya.
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 706)
43
Memendekkan shalat ketika terdengar tangis bayi

420.
Diriwayatkan dari Abu Qatadah r.a, bahwa Nabi s.a.w pernah bersabda : “Ketika aku berdiri menjadi imam shalat dan aku ingin memanjangkannya, tiba-tiba aku mendengar tangis bayi, lalu aku memendekkan shalat karena aku tidak mau memberatkan ibu bayi tersebut (yang menjadi makmum).”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 707)
44
Meluruskan barisan setelah iqmat

421.
Diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir r.a, dia berkata : Nabi s.a.w pernah bersabda, “Luruskan barisan kalian! kalau tidak, maka Allah akan membuat kalian berselisih.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 717)
45
Imam menghadap ke makmum ketika meluruskan barisan

422.
Diriwayatkan dari Anas r.a, bahwa Nabi s.a.w bersabda : “Luruskan dan rapatkan barisan kalian, karena aku bisa melihatmu walaupun aku membelakangimu (beliau mengatakan itu sehabis iqamat dengan menghadap ke makmum).”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor :719)
46
Ada dinding atau tabir antara imam dan makmum

423.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a, dia berkata : Suatu ketika Rasulullah s.a.w melaksanakan shalat malam di kamarnya, sedangkan dinding kamarnya rendah sehingga orang-orang bisa melihat Rasulullah s.a.w lalu mereka turut bermakmum mengikuti shalat Rasulullah s.a.w itu. Paginya, orang-orang berbincang-bincang mengenai hal itu, sehingga pada malam kedua semakin banyak orang yang mengikuti shalat. Mereka melakukan shalat seperti itu dua atau tiga malam. Setelah itu Rasulullah s.a.w tidak melakukan shalat malam, juga tidak keluar ke masjid untuk shalat malam. Setelah pagi, orang-orang bertanya, lalu Rasulullah s.a.w menjawab, “Aku khawatir shalat malam diwajibkan kepada kalian.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 729)
47
Shalat malam

424.
Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a, seperti hadits sebelumnya (nomor : 423) dengan tambahan sabda Nabi s.a.w sebagai berikut : “Aku memahami apa yang kalian perbuat seperti yang aku lihat sendiri. Kerjakanlah shalat sunat di rumah kalian masing-masing, karena shalat sunat yang paling utama bagi seseorang adalah yang dikerjakan di rumahnya sendiri, kecuali shalat wajib.”
(Hadits shahih Imam Bukhari nomor : 731)